Selasa, 12 Juni 2012

TEOLOGI SEBAGAI ILMU

PENDAHULUAN
Berbicara mengenai ilmu, berarti kita membicarakan “sesuatu” yang sifatnya multidisipliner. Salah satunya adalah Teologi sebagai Ilmu. Berbicara mengenai Teologi sebagai Ilmu, merupakan hal yang “gampang-gampang, susah” maksudnya kita dituntut harus cermat dalam mengembangkan pemikiran tersebut, karena pada “pembuktiannya” kita akan diperhadapakan dengan berbagai multidisipliner ilmu. Sehingga “secara tidak langsung” menuntut kepada kita untuk dapat mempertanggungjawabkan ilmu yang kita pahami/”dalami” untuk mendapatkan pengkuan bahwa teologi itu dapat disebut sebagai ilmu.
Namun demikian dalam pembuktiannnya kita jangan melepaskan peranan sejarah serta iman kita. Sebab ketika kita melepaskan peranan sejarah serta iman kita kepada Yesus Kristus maka kita tidak dapat memahami apa yang sesungguhnya kita cari (dalam hal ini teologi sebgai ilmu). Tulisan ini, akan memuat tentang Pengenalan Singkat Mengenai Sejarah Ilmu;  Ilmu Pengetahuan, Teologi dan Iman; pada bagian akhir tulisan ini dikemukakan suatu kesimpulan  tentang teologi sebagai ilmu.
Oleh karena itu penulis optimis bahwa tulisan singkat berikut ini, “setidaknya” dapat memberikan wawasan tentang teologi sebagai ilmu, bagi sidang pembaca.


 Bagian I
Bagian ini  meruupakan pengantar untuk memasuki pada bagian kedua, sekaligus untuk melihat kembali sejarah ilmu dahulu yang terus berkembang sampai pada saat ini, termasuk didalamnya  adalah ilmu teologi.

MENGENAL SECARA SINGKAT SEJARAH ILMU
(Disadur  dari buku Filsafat Ilmu; sejarah dan ruang lingkup bahasan,
oleh Jerome R. Raverts)
               
Kemunculan science Eropa dianggap bermula dari para filsuf negara-negara kota Yunani yang mendiami pantai dan pulau-pulau Mediterranian Timur, diakhir abad ke 6 dan ke 5 SM. Sebagai contohnya adalah ucapan Thales yang dikenal sebagai filsuf tertua. Thales berpendapat bahwa “Semuanya Adalah Air”. Dari pandangan tersebut menjelaskan bahwa filsafat Yunani Kuno lebih berminat pada penjelasan tentang fenomena dunia pencerapan inderawi (perceptual world) dari pada mengajukan pemikiran/pandangan praktis, mereka melakukannya dengan mengutamakan sebab-sebab dari pada pelaku-pelaku pribadi, meskipun sebab-sebab tersebut berasal dari analogi yang terdapat dalam pengalaman berkarya dan perilaku manusia (seperti prinsip-prinsip kosmisnya Empedokles tentang “cinta dan pertentangan”). Dalam perkembangannya ada suatu tradisi yang terjadi, yakni; aliran Phytagorean yang secara eksplisit menjadi sifat relegius. Aliran ini berusaha menemukan kunci bagi harmoni universal, baik yang bersifat alamiah maupun sosial, dan personalitas bilangan, yang dilihat sebagai susunan titik-titik terbentuk adalah bukti yang sangat penting. Zeno dan Parmenides adalah filsuf Eleatis, menggunakan suatu analisis konseptual yang canghih untuk mendukung filosofis yang menyatakan kesatuan eksistensi yang tak berubah. Plato yang hidup di awal abad ke 4 SM, adalah seorang filsuf earliest (paling awal/paling tua). Ia merupakan seorang  propagandis matematika yang sangat berpengaruh. Dalam republik ia beragumen bahwa geometri mempersiapkan pikiran untuk perbincangan dealektis tentang ide-ide yang nyata (the real ideas), dimana benda-benda inderawi tak lain dari pada bayang-bayangnya, dan dari sana menuju kebijaksanaan dan penerangan (illumination). Aristoteles (sekitar abad ke 4), adalah serang filsuf yang minatnya pada bidang alamiah dan manusia, termasuk etika dan metafisika. Melalui pengamatan yang akurat dan teorisasi yang disiplin, ia menciptakan sebuah ilmu biologis dan sebuah taksonomi yang banyak mirip dengan ilmu yang kita gunakan sekarang. Dalam peradaban Romawi, masalah-maslah ilmiah didiskusikan dengan serius dikalangan orang Romawi hanya dalam hubungannya dengan filsafat-filsafat yang berbasis etis. Dua aliran yang terkenal pada zaman ini adalah Stisme dan Epikureanisme, yang pandangannya bahwa manusia harus bijaksana dan mengajarkan kebahagiaan. Peradaban Yunani-Romawi mencapai penggenapan siklusnya (± thn 1000). Pada setengah perjalanan abad ini, khususnya di Eropa sering juga disebut Abad Gelap. Di awal abad ke 11, sebagian besar orang terpelajar memahami ilmun kuno dalam cuplikan-cuplikan yang segelintir dan tercabik-cabik. Namun setelah abad ke 12, mengalami renaissance.
Kalau kita melihat Peradaban India merupakan peradaban yang tertua sampai sekarang. Ciri khas dari peradaban ini adalah kesadaran yang lebih tinggi (higher consciousness). Matematika India dengan sistim bilangan dan perhitungannya yang telah berkembang cukup tinggi, mempengaruhi aljabar Arab, juga melengkapi angka-angka utama Arab (yakni, sembilan digit dan satu angka nol dlam suatu sistim nilai-tempat). Kemudian Cina memunculkan tantangan yang lebih besar kepada sejarawan ilmu Eropa. Basis pengetahuan umumnya ialah keduniaan ini, meskipun didasarkan pada harmoni antara pribadi ketimbang keteraturan-keteraturan yang abstrak. Namun dibalik tantangan yang muncul tersebut, mempunyai sesuatu nilai yang patut dipelajari dari cara Cina Kuno yaitu perlunya pelaksanaan harmoni yang lembut antara diri individu dengan alam. Sedangkan Jepang yang selama beberapa abad merupakan jajahan kultural Cina, juga cukup mengambil andil dalam peradaban ilmu. Jepang mengalami penyingkapan singkat  dalam ilmu dan agama Barat sebelum para penguasanya di penghujung abad ke 17 memutuskan untuk menutup pintu pada pengaruh-pengaruh yang dianggap membahayakan.
Ilmu adalah ciptaan bangsa Eropa, meskipun peradaban-peradaban lain memberikan berbagai kontribusi yang penting kepadanya. Ilmu berakar dalam pemikiran masyarakat ilmu adalah bagian penting dari proses pencapaian dominasi atas bangsa yang lemah dan hingga kini masih merupakan ujung kebiadaban dunia. Kelahiran kembali ilmu di zaman Renesans adalah dengan penemuan manusia dan alam (produk renesance yang artistik pada abad ke 15 di Italia) termasuk didalamnya ilmu seni dan teknologi. Pada abad ke 16 dan 17 para filsuf menggabungkan unsur-unsur keahlian metalurgi, ilmu kedokteran, alkimia, agama, mistik, dan perbaikan sosial, dan pada hakekatnya mereka benar-benar berhasil sebagai ahli kimia.
Pada abad ke 17 terjadi revolusi dalam Filsafat Alam – terjadi perumusan kembali yang radikal terhadap objek-objek, metode-metode dan fungsi-fungsi pengetahuanh alamiah. Objek barunya ialah fenomena yang teratur di dunia tanpa sifat-sifat manusiawi dan spiritual, metode-metode barunya merupakan penelitian yang berdisiplin dan kooperatif, dan fungsi-fungsi barunya berupa gabungan dari pengetahuan ilmiah dan kekuasaan industrial.  Zaman Revolusi ini dimulai pada abad ke 18, yang dimulai dengan ilmu selama refolusi industri.
Gerakan refolusi modern ini juga disebut Pencerahan. Pencerahan dimulai pada tahun  1730-an oleh Viltaire; dia memakai citra newton untuk menantang/melawan ortodoksi kosmologi dan fisika Descrates yang berlaku resmi pada saat itu. Gaya dominan ilmu di zaman refolusi ialah matematis. Hasil dari ilmu tersebut yang masih ada sampai sekarang adalah sistem pengukuran yang didasarkan pada satuan-satuan alamiah dan rasional. Pada zaman ini pula ditemukan elektromagnetisme (1820) oleh fisikawan Belanda yaitu Hans Christian Qrsted, yang sekarang dikenal sebagai hasil akhir penelitian penelitian.
Pada zaman ini (selama abad 18) semua jenis bidang ilmu mengalami perkembangan yang sangat pesat. Satu demi satu disiplin ilmiah mengalami kemajuan ilmiah serupa dalam pencapaian sistem-sistem yang runtut dan dalam penciptaan lembaga-lembaga aktivitas ilmiah. Pada zaman ini ilmu mengalami perluasan yang meliputi penggabungan matematika dengan eksperimen dalam fisika, penerapan teori kepada eksperimen dalam kimia, dan eksperimen yang terkendali dalam biologi.  Sedangkan pada awal masa abad 20, ilmu bersifat profesional dalam organisasi sosialnya, reduksionis dalam gayanya, dan positif dalam jiwanya, serta ilmu sudah dipandang sebagai hasil karya penyelidikan murni. Hampir semua penelitian dilakukan oleh para ahli yang dilatih dengan sangat ketat, bekerja secara total atau seperlunya untuk pekerjaan ini dalam lembaga-lembaga khusus. Gaya pekerjaan pada periode ini sebagian besar bersifat reduksionis, penyelidikan dipusatkan pada proses-proses murni, stabil, dan dapat di kontrol secara buatan yang dapat terlaksana di laboratorium. Jiwa positif ilmu ini terlihat dengan meningkatnya pemisahannnya dari refleksi filosofis, termasuk ilmu teologi.

Yang harus digaris bawahi:
Dari sejarah singkat diatas maka kita dapati bahwa ilmu terus berkembang sesuai dengan zaman yang dilaluinya. Termasuk di dalamnya adalah ilmu tentang keagamaan (Teologi). Kalau kita mencermati sejarah ilmu, maka kalau pada saat ini kita akan meninjau kembali dengan perspektif teologi maka seakan bertolak belakang. Namun demikian, itulah keunikan dari ilmu itu sendiri yang dalam perkembangannya dapat membuktikan bahwa hasil yang didapati telah melalui research/metodologi penelitian dengan memakai berbagai macam metode yang sesuai dengan kebutuhannya. Begitu pula jika kita akan memahami teologi sebagai ilmu.


Bagian II
TEOLOGI SEBAGAI ILMU DAN IMAN
Untuk menjelaskan teologi sebgai ilmu maka penulis mengemukakan beberapa pemikiran, yaitu: Pendekatan Teologi Choan Seng Song  Dan Ke-Ilmiahan Teologi, Pembaharuan Dalam Teologi Dan Dalam Pengajaran Teologi,  Teologi sebagai “wadah” pembentukan karakter  Orang Kristen.[1]

1.       Pendekatan Teologi Choan Seng Song  Dan Ke-Ilmiahan Teologi

Choan Seng Song adalah seorang teolog Asia yang berasal dari Taiwan. Song keberatan terhadap cara berpikir rasional dan pemakaian istilah-istilah konseptual mengenai Allah karena dengan metode ini Allah tidak dapat dipahami. Dalam ajaran Pneumatologi Choan Seng Song berpendapat bahwa; “satory is the work of the holly whitin spirit” – Roh Kudus menegakkan kebenaran di dalam diri manusia bukan pikiran manusia yang analitis dan konseptualistis yang menciptakannya. Karena pada prinsipnya Allah adalah  yang berbicara di dalam teologi: “logos” (Firman) dibicarakan oleh Allah dan bukan sebaliknya: manusia yang menfirmankan mengenai Allah.
Berikut ini alasan-alasan Song untuk mempersoalkan metodologi ilmiah dari teologi:
-          Metodologi rasionalistis tidak bisa “menangkap” identitas Allah karena Allah menyatakan diri dengan cara yang tidak dapat diperkirakan. Kalau alat yang digunakan salah, maka pekerjaanya juga berkurang hasilnya. Sama saja dengan teologi.
-          Allah sendiri merupakan “subjek” dari teologi, bukan manusia.
-          Konteks, tempat dan bahan teologi adalah permasalahan manusia “(problematic humanity)”; disini ditanyakan apakah perbuatan Allah di dunia ini berhubungan dengan permasalahan tersebut.
Dengan demikian dapat kita dikatakan  bahwa teologi tidak sama dengan iman dan juga tidak sama dengan “ajaran”. Teologi juga  tidak usah menjauhkan diri  dari ilmu pengetahuan dan metodologinya, bahkan sebaliknya  bahwa pendekatan Song memungkinkan teologi untuk mempertanggungjawabkan metode ilmiahnya.

  1. Pembaharuan Dalam Teologi Dan Dalam Pengajaran Teologi (DR. Tom Jacobs, SJ)

Teologi merupakan  refleksi atas iman sendiri dalam konteks tradisi, artinya dalam hubungan dengan penghayatan dan pengakuan iman seluruh umat. Inti dari teologi adalah berorientasi pada umat. Dalam bagian ini juga menjelaskan tentang bagaimana teologi itu sebagai ilmu. Sebab, pada bagian in I dijelaskan mengenai teologi praksis. Artinya bahwa teologi sudah “dikombinasikan” dengan berbagai bidang ilmu. Sehingga teologi sebagai ilmu dapat disebut dengan teologi praksis. Sehingga dalam pengajaran teologi, dapat di hubungkan – diperbandingkan dengan bidang ilmu lain sebagai bagian dari pengajaran teologi itu sendiri.
Elisabeth Schussler Fiorensa, berpendapat bahwa relasi dan interaksi anatara persekutuan orang beriman dan interpretasi Alkitabiah, semakin menjadi problematis dan sulit. Disatu pihak orang kristen mengakui Alkitab sebagai “Sabda Kudus” yang mempunyai kewibawaan ilahi untuk masa kini; di lain pihak pendalaman Alkitab melalui berbagai macam metode penelitian; historis; sosial, ekonomi, budaya, politik, seolah menunjukan bahwa Alkitab adalah sebuah buku yang penuh dengan hal-hal kompleks yang sukar dimengerti oleh orang percaya biasa. Oleh karena itu untuk menjelaskannya adalah merupakan tugas teologi itu sendiri.

  1. Teologi Praktika & Pembentukan Hidup Orang Kristen (Fowler, JW)

Teologi praktika merupakan refleksi kritis dan konstruktif atas praksis kehidupan dan karya komunitas Kristen dalam berbgai dimensinya. Teologi praktika juga sebagai  bagian dari usaha teologis yang lebih luas yang meliputi spelsialisasi dari pencarian dan konstruksi teologis yang eksegetikal, historikal, sistematik dan fundamental.
Empat unsur dasar yang yanga ada pada teologi praktika dalam rangka pembentukan karakter orang kristen;
-          Teologi praktika dalam usaha pembentukan orang kristen adalah satu dari teori mengenai kasih Allah yang penuh kuasa sebagai pola dari aksi yang mendasari dan memberi ciri kepada proses kosmik.
-          Teologi praktika juga merupakan teori perkembangan iman.
-          Teologi praktika membutuhkan teori mengenai kebijakan-kebijakan dan perasan-perasaan yang terdapat dalam kehidupan Kristen.
-          Teologi praktika juga membutuhkan teori mengenai prinsip-prinsip dan strategi-strategi metodologis bagi pembentukan dalam iman.


K E S I M P U L A N

Kalu kita melihat kembali sejarah filsafat ilmu, maka pada hakikatnya filsafat ilmu pertama-tama berusaha menjelaskan unsur-unsur yang telibat dalam proses penelitian ilmiah yaitu; prosedur-prosedur pengaatan, pola-pola argumen, metode penyajian dan perhitungan, peraandaian-peraandaian metafisik, dan sebagainya. Dari situ mereka kemudian mengevaluasi dasar-dasar validitasnya berdasarkan sudut pandang logika formal, metodologi praktis metafisika. Begitupun dengan ilmu teologi.
Oleh karena itu,  dapat dikatakan bahwa                 ilmu teologi selalu menggumuli prihal kehidupan manusia yang konkrit dalam hubungan dengan Allah, dengan kata lain masalah inti yang harus “dipecahkan” dari teologi (teolog) ialah hal beriman. Beriman tidak dapat disamakan dengan menganggap benar isi Alkitab dan dogma-dogma gereja, Melaikan “beriman atau percaya” dirumuskan sebagai aktivitas hidup manusia termasuk di dalamnya aspek “eksistensinya”: badani, rohani, psikis dan sosial dalam hubungan akrab dengan Allah dan berorientasi kepadaNya.
Kita juga dapat mengatakan bahwa; jika iman Alkitabiah tercapai, khususnya dalam penerapan pada keadaan seseorang yang sesuai gambaran Alkitabiah, maka tugas dari pada teolog adalah menghubungkan secara otentik satu dengan yang lain sebagaimana setiap orang mempelajari teologi dari sudut Alkitabiah. Rumusan doktrin tersebut harus juga berfariasi seturut dengan waktu dan komunitas. Oleh karena itu iman menuntut pada pertobatan yang benar dengan melibatkan kehidupan diri seseorang. Dasar terdalam pada pertobatan adalah tindakan Allah yang sangat bernilai memulihkan kita dengan diriNya dan tetap berpegang bahwa perdamaian yang dijanjikan Kristus diantara manusia dengan sesamaNya tak lain dari karya Allah, yang mendamaikan kita dengan dirinya.
Oleh karena itu, kita sebagai teolog harus mampu “mengekspresikan”/ berteologi dengan tepat. Dalam pelaksananya tentu harus memakai metode-metode penelitian termasuk penggabungan analisa dari bidang ilmu yang lainya, sambil tetap berorientasi pada Alkitab sebagai sumber utama. Sebagai contoh: Teologi Pastoral, yang menggabungkan ilmu psikologis yang didalamnya juga melihat latar belakang histiris, sosial, ekonomi, budaya politik, yang mempengaruhi objek pastoral.


Sumber Buku Utama:
Ravertz. J.R., FILSAFAT ILMU; Sejarah Dan Ruang Lingkup Bahasan.
  Jokjakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Hommes. Tj. G., TEOLOGI DAN PRAKSIS PASTORAL., Jakarta: Kanisiu, 1992.


[1] Semua tulisan dalam bagian ini disadur dari tulisan Prof. Tj. G. Hommes Th.D. Antologi Teologi Pastoral; TEOLOGI DAN PRAKSIS PASTORAL, yang diterbitkan oleh kerjasama antara Kanisius dan BPK Gunung Mulia, Jakarta 1992.

1 komentar: