PENDAHULUAN
Berbicara
mengenai ilmu, berarti kita membicarakan “sesuatu” yang sifatnya
multidisipliner. Salah satunya adalah Teologi sebagai Ilmu. Berbicara mengenai
Teologi sebagai Ilmu, merupakan hal yang “gampang-gampang, susah” maksudnya
kita dituntut harus cermat dalam mengembangkan pemikiran tersebut, karena pada “pembuktiannya”
kita akan diperhadapakan dengan berbagai multidisipliner ilmu. Sehingga “secara
tidak langsung” menuntut kepada kita untuk dapat mempertanggungjawabkan ilmu
yang kita pahami/”dalami” untuk mendapatkan pengkuan bahwa teologi itu dapat
disebut sebagai ilmu.
Namun
demikian dalam pembuktiannnya kita jangan melepaskan peranan sejarah serta iman
kita. Sebab ketika kita melepaskan peranan sejarah serta iman kita kepada Yesus
Kristus maka kita tidak dapat memahami apa yang sesungguhnya kita cari (dalam
hal ini teologi sebgai ilmu). Tulisan ini, akan memuat tentang Pengenalan Singkat
Mengenai Sejarah Ilmu; Ilmu Pengetahuan,
Teologi dan Iman; pada bagian akhir tulisan ini dikemukakan suatu kesimpulan tentang teologi sebagai ilmu.
Oleh
karena itu penulis optimis bahwa tulisan singkat berikut ini, “setidaknya”
dapat memberikan wawasan tentang teologi sebagai ilmu, bagi sidang pembaca.
Bagian
I
Bagian
ini meruupakan pengantar untuk memasuki
pada bagian kedua, sekaligus untuk melihat kembali sejarah ilmu dahulu yang
terus berkembang sampai pada saat ini, termasuk didalamnya adalah ilmu teologi.
MENGENAL
SECARA SINGKAT SEJARAH ILMU
(Disadur dari buku Filsafat Ilmu; sejarah dan ruang
lingkup bahasan,
oleh Jerome R.
Raverts)
Kemunculan
science Eropa dianggap bermula dari para filsuf negara-negara kota Yunani yang
mendiami pantai dan pulau-pulau Mediterranian Timur, diakhir abad ke 6 dan ke 5
SM. Sebagai contohnya adalah ucapan Thales
yang dikenal sebagai filsuf tertua. Thales berpendapat bahwa “Semuanya Adalah
Air”. Dari pandangan tersebut menjelaskan bahwa filsafat Yunani Kuno lebih
berminat pada penjelasan tentang fenomena dunia pencerapan inderawi (perceptual
world) dari pada mengajukan pemikiran/pandangan praktis, mereka melakukannya
dengan mengutamakan sebab-sebab dari pada pelaku-pelaku pribadi, meskipun
sebab-sebab tersebut berasal dari analogi yang terdapat dalam pengalaman
berkarya dan perilaku manusia (seperti prinsip-prinsip kosmisnya Empedokles
tentang “cinta dan pertentangan”). Dalam perkembangannya ada suatu tradisi yang
terjadi, yakni; aliran Phytagorean
yang secara eksplisit menjadi sifat relegius. Aliran ini berusaha menemukan
kunci bagi harmoni universal, baik yang bersifat alamiah maupun sosial, dan
personalitas bilangan, yang dilihat sebagai susunan titik-titik terbentuk
adalah bukti yang sangat penting. Zeno
dan Parmenides adalah filsuf Eleatis,
menggunakan suatu analisis konseptual yang canghih untuk mendukung filosofis yang
menyatakan kesatuan eksistensi yang tak berubah. Plato yang hidup di awal abad ke 4 SM, adalah seorang filsuf
earliest (paling awal/paling tua). Ia merupakan seorang propagandis matematika yang sangat
berpengaruh. Dalam republik ia beragumen bahwa geometri mempersiapkan pikiran
untuk perbincangan dealektis tentang ide-ide yang nyata (the real ideas),
dimana benda-benda inderawi tak lain dari pada bayang-bayangnya, dan dari sana
menuju kebijaksanaan dan penerangan (illumination). Aristoteles (sekitar abad ke 4), adalah serang filsuf yang minatnya
pada bidang alamiah dan manusia, termasuk etika dan metafisika. Melalui
pengamatan yang akurat dan teorisasi yang disiplin, ia menciptakan sebuah ilmu
biologis dan sebuah taksonomi yang banyak mirip dengan ilmu yang kita gunakan
sekarang. Dalam peradaban Romawi, masalah-maslah ilmiah didiskusikan dengan
serius dikalangan orang Romawi hanya dalam hubungannya dengan filsafat-filsafat
yang berbasis etis. Dua aliran yang terkenal pada zaman ini adalah Stisme dan Epikureanisme,
yang pandangannya bahwa manusia harus bijaksana dan mengajarkan kebahagiaan.
Peradaban Yunani-Romawi mencapai penggenapan siklusnya (± thn 1000). Pada
setengah perjalanan abad ini, khususnya di Eropa sering juga disebut Abad
Gelap. Di awal abad ke 11, sebagian besar orang terpelajar memahami ilmun kuno
dalam cuplikan-cuplikan yang segelintir dan tercabik-cabik. Namun setelah abad
ke 12, mengalami renaissance.
Kalau
kita melihat Peradaban India merupakan peradaban yang tertua sampai sekarang. Ciri
khas dari peradaban ini adalah kesadaran yang lebih tinggi (higher
consciousness). Matematika India dengan sistim bilangan dan perhitungannya yang
telah berkembang cukup tinggi, mempengaruhi aljabar Arab, juga melengkapi
angka-angka utama Arab (yakni, sembilan digit dan satu angka nol dlam suatu
sistim nilai-tempat). Kemudian Cina memunculkan tantangan yang lebih besar
kepada sejarawan ilmu Eropa. Basis pengetahuan umumnya ialah keduniaan ini,
meskipun didasarkan pada harmoni antara pribadi ketimbang keteraturan-keteraturan
yang abstrak. Namun dibalik tantangan yang muncul tersebut, mempunyai sesuatu
nilai yang patut dipelajari dari cara Cina Kuno yaitu perlunya pelaksanaan
harmoni yang lembut antara diri individu dengan alam. Sedangkan Jepang yang
selama beberapa abad merupakan jajahan kultural Cina, juga cukup mengambil
andil dalam peradaban ilmu. Jepang mengalami penyingkapan singkat dalam ilmu dan agama Barat sebelum para
penguasanya di penghujung abad ke 17 memutuskan untuk menutup pintu pada
pengaruh-pengaruh yang dianggap membahayakan.
Ilmu
adalah ciptaan bangsa Eropa, meskipun peradaban-peradaban lain memberikan
berbagai kontribusi yang penting kepadanya. Ilmu
berakar dalam pemikiran masyarakat –
ilmu adalah bagian penting dari proses pencapaian dominasi atas bangsa yang
lemah dan hingga kini masih merupakan ujung kebiadaban dunia. Kelahiran
kembali ilmu di zaman Renesans adalah dengan penemuan manusia dan alam (produk
renesance yang artistik pada abad ke 15 di Italia) termasuk didalamnya ilmu
seni dan teknologi. Pada abad ke 16 dan 17 para filsuf menggabungkan
unsur-unsur keahlian metalurgi, ilmu kedokteran, alkimia, agama, mistik, dan
perbaikan sosial, dan pada hakekatnya mereka benar-benar berhasil sebagai ahli
kimia.
Pada
abad ke 17 terjadi revolusi dalam Filsafat Alam – terjadi perumusan kembali
yang radikal terhadap objek-objek, metode-metode dan fungsi-fungsi pengetahuanh
alamiah. Objek barunya ialah fenomena yang teratur di dunia tanpa sifat-sifat
manusiawi dan spiritual, metode-metode barunya merupakan penelitian yang
berdisiplin dan kooperatif, dan fungsi-fungsi barunya berupa gabungan dari
pengetahuan ilmiah dan kekuasaan industrial. Zaman Revolusi ini dimulai pada abad ke 18,
yang dimulai dengan ilmu selama refolusi industri.
Gerakan
refolusi modern ini juga disebut Pencerahan. Pencerahan dimulai pada tahun 1730-an oleh Viltaire; dia memakai citra
newton untuk menantang/melawan ortodoksi kosmologi dan fisika Descrates yang
berlaku resmi pada saat itu. Gaya dominan ilmu di zaman refolusi ialah
matematis. Hasil dari ilmu tersebut yang masih ada sampai sekarang adalah
sistem pengukuran yang didasarkan pada satuan-satuan alamiah dan rasional. Pada
zaman ini pula ditemukan elektromagnetisme (1820) oleh fisikawan Belanda yaitu
Hans Christian Qrsted, yang sekarang dikenal sebagai hasil akhir penelitian
penelitian.
Pada
zaman ini (selama abad 18) semua jenis bidang ilmu mengalami perkembangan yang
sangat pesat. Satu demi satu disiplin ilmiah mengalami kemajuan ilmiah serupa
dalam pencapaian sistem-sistem yang runtut dan dalam penciptaan lembaga-lembaga
aktivitas ilmiah. Pada zaman ini ilmu mengalami perluasan yang meliputi
penggabungan matematika dengan eksperimen dalam fisika, penerapan teori kepada
eksperimen dalam kimia, dan eksperimen yang terkendali dalam biologi. Sedangkan pada awal masa abad 20, ilmu
bersifat profesional dalam organisasi sosialnya, reduksionis dalam gayanya, dan
positif dalam jiwanya, serta ilmu sudah dipandang sebagai hasil karya penyelidikan
murni. Hampir semua penelitian dilakukan oleh para ahli yang dilatih dengan
sangat ketat, bekerja secara total atau seperlunya untuk pekerjaan ini dalam
lembaga-lembaga khusus. Gaya pekerjaan pada periode ini sebagian besar bersifat
reduksionis, penyelidikan dipusatkan pada proses-proses murni, stabil, dan
dapat di kontrol secara buatan yang dapat terlaksana di laboratorium. Jiwa
positif ilmu ini terlihat dengan meningkatnya pemisahannnya dari refleksi
filosofis, termasuk ilmu teologi.
Yang harus digaris
bawahi:
Dari
sejarah singkat diatas maka kita dapati bahwa ilmu terus berkembang sesuai
dengan zaman yang dilaluinya. Termasuk di dalamnya adalah ilmu tentang
keagamaan (Teologi). Kalau kita mencermati sejarah ilmu, maka kalau pada saat
ini kita akan meninjau kembali dengan perspektif teologi maka seakan bertolak
belakang. Namun demikian, itulah keunikan dari ilmu itu sendiri yang dalam
perkembangannya dapat membuktikan bahwa hasil yang didapati telah melalui
research/metodologi penelitian dengan memakai berbagai macam metode yang sesuai
dengan kebutuhannya. Begitu pula jika kita akan memahami teologi sebagai ilmu.
Bagian
II
TEOLOGI
SEBAGAI ILMU DAN IMAN
Untuk
menjelaskan teologi sebgai ilmu maka penulis mengemukakan beberapa pemikiran,
yaitu: Pendekatan Teologi Choan Seng Song
Dan Ke-Ilmiahan Teologi, Pembaharuan Dalam Teologi Dan Dalam Pengajaran
Teologi, Teologi sebagai “wadah”
pembentukan karakter Orang Kristen.[1]
1.
Pendekatan Teologi
Choan Seng Song Dan Ke-Ilmiahan Teologi
Choan
Seng Song adalah seorang teolog Asia yang berasal dari Taiwan. Song keberatan
terhadap cara berpikir rasional dan pemakaian istilah-istilah konseptual
mengenai Allah karena dengan metode ini Allah tidak dapat dipahami. Dalam
ajaran Pneumatologi Choan Seng Song berpendapat bahwa; “satory is the work of
the holly whitin spirit” – Roh Kudus menegakkan kebenaran di dalam diri manusia
bukan pikiran manusia yang analitis dan konseptualistis yang menciptakannya.
Karena pada prinsipnya Allah adalah yang
berbicara di dalam teologi: “logos” (Firman) dibicarakan oleh Allah dan bukan
sebaliknya: manusia yang menfirmankan mengenai Allah.
Berikut
ini alasan-alasan Song untuk mempersoalkan metodologi ilmiah dari teologi:
-
Metodologi
rasionalistis tidak bisa “menangkap” identitas Allah karena Allah menyatakan
diri dengan cara yang tidak dapat diperkirakan. Kalau alat yang digunakan
salah, maka pekerjaanya juga berkurang hasilnya. Sama saja dengan teologi.
-
Allah
sendiri merupakan “subjek” dari teologi, bukan manusia.
-
Konteks,
tempat dan bahan teologi adalah permasalahan manusia “(problematic humanity)”;
disini ditanyakan apakah perbuatan Allah di dunia ini berhubungan dengan
permasalahan tersebut.
Dengan
demikian dapat kita dikatakan bahwa
teologi tidak sama dengan iman dan juga tidak sama dengan “ajaran”. Teologi
juga tidak usah menjauhkan diri dari ilmu pengetahuan dan metodologinya,
bahkan sebaliknya bahwa pendekatan Song
memungkinkan teologi untuk mempertanggungjawabkan metode ilmiahnya.
- Pembaharuan Dalam Teologi Dan Dalam Pengajaran Teologi (DR. Tom Jacobs, SJ)
Teologi
merupakan refleksi atas iman sendiri
dalam konteks tradisi, artinya dalam hubungan dengan penghayatan dan pengakuan
iman seluruh umat. Inti dari teologi adalah berorientasi pada umat. Dalam
bagian ini juga menjelaskan tentang bagaimana teologi itu sebagai ilmu. Sebab,
pada bagian in I dijelaskan mengenai teologi praksis. Artinya bahwa teologi
sudah “dikombinasikan” dengan berbagai bidang ilmu. Sehingga teologi sebagai
ilmu dapat disebut dengan teologi praksis. Sehingga dalam pengajaran teologi,
dapat di hubungkan – diperbandingkan dengan bidang ilmu lain sebagai bagian
dari pengajaran teologi itu sendiri.
Elisabeth
Schussler Fiorensa, berpendapat bahwa relasi dan interaksi anatara persekutuan
orang beriman dan interpretasi Alkitabiah, semakin menjadi problematis dan
sulit. Disatu pihak orang kristen mengakui Alkitab sebagai “Sabda Kudus” yang
mempunyai kewibawaan ilahi untuk masa kini; di lain pihak pendalaman Alkitab melalui
berbagai macam metode penelitian; historis; sosial, ekonomi, budaya, politik, seolah
menunjukan bahwa Alkitab adalah sebuah buku yang penuh dengan hal-hal kompleks
yang sukar dimengerti oleh orang percaya biasa. Oleh karena itu untuk
menjelaskannya adalah merupakan tugas teologi itu sendiri.
- Teologi Praktika & Pembentukan Hidup Orang Kristen (Fowler, JW)
Teologi
praktika merupakan refleksi kritis dan konstruktif atas praksis kehidupan dan
karya komunitas Kristen dalam berbgai dimensinya. Teologi praktika juga sebagai
bagian dari usaha teologis yang lebih
luas yang meliputi spelsialisasi dari pencarian dan konstruksi teologis yang
eksegetikal, historikal, sistematik dan fundamental.
Empat
unsur dasar yang yanga ada pada teologi praktika dalam rangka pembentukan karakter
orang kristen;
-
Teologi
praktika dalam usaha pembentukan orang kristen adalah satu dari teori mengenai
kasih Allah yang penuh kuasa sebagai pola dari aksi yang mendasari dan memberi
ciri kepada proses kosmik.
-
Teologi
praktika juga merupakan teori perkembangan iman.
-
Teologi
praktika membutuhkan teori mengenai kebijakan-kebijakan dan perasan-perasaan
yang terdapat dalam kehidupan Kristen.
-
Teologi
praktika juga membutuhkan teori mengenai prinsip-prinsip dan strategi-strategi
metodologis bagi pembentukan dalam iman.
K E S
I M P U L A N
Kalu
kita melihat kembali sejarah filsafat ilmu, maka pada hakikatnya filsafat ilmu
pertama-tama berusaha menjelaskan unsur-unsur yang telibat dalam proses
penelitian ilmiah yaitu; prosedur-prosedur pengaatan, pola-pola argumen, metode
penyajian dan perhitungan, peraandaian-peraandaian metafisik, dan sebagainya.
Dari situ mereka kemudian mengevaluasi dasar-dasar validitasnya berdasarkan
sudut pandang logika formal, metodologi praktis metafisika. Begitupun dengan
ilmu teologi.
Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa ilmu teologi selalu menggumuli
prihal kehidupan manusia yang konkrit dalam hubungan dengan Allah, dengan kata
lain masalah inti yang harus “dipecahkan” dari teologi (teolog) ialah hal
beriman. Beriman tidak dapat disamakan dengan menganggap benar isi Alkitab dan
dogma-dogma gereja, Melaikan “beriman atau percaya” dirumuskan sebagai aktivitas
hidup manusia termasuk di dalamnya aspek “eksistensinya”: badani, rohani, psikis
dan sosial dalam hubungan akrab dengan Allah dan berorientasi kepadaNya.
Kita
juga dapat mengatakan bahwa; jika iman Alkitabiah tercapai, khususnya dalam
penerapan pada keadaan seseorang yang sesuai gambaran Alkitabiah, maka tugas
dari pada teolog adalah menghubungkan secara otentik satu dengan yang lain
sebagaimana setiap orang mempelajari teologi dari sudut Alkitabiah. Rumusan doktrin
tersebut harus juga berfariasi seturut dengan waktu dan komunitas. Oleh karena
itu iman menuntut pada pertobatan yang benar dengan melibatkan kehidupan diri
seseorang. Dasar terdalam pada pertobatan adalah tindakan Allah yang sangat
bernilai memulihkan kita dengan diriNya dan tetap berpegang bahwa perdamaian
yang dijanjikan Kristus diantara manusia dengan sesamaNya tak lain dari karya
Allah, yang mendamaikan kita dengan dirinya.
Oleh
karena itu, kita sebagai teolog harus mampu “mengekspresikan”/ berteologi
dengan tepat. Dalam pelaksananya tentu harus memakai metode-metode penelitian
termasuk penggabungan analisa dari bidang ilmu yang lainya, sambil tetap
berorientasi pada Alkitab sebagai sumber utama. Sebagai contoh: Teologi
Pastoral, yang menggabungkan ilmu psikologis yang didalamnya juga melihat latar
belakang histiris, sosial, ekonomi, budaya politik, yang mempengaruhi objek
pastoral.
Sumber Buku Utama:
Ravertz. J.R., FILSAFAT
ILMU; Sejarah Dan Ruang Lingkup Bahasan.
Jokjakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.
Hommes. Tj. G., TEOLOGI
DAN PRAKSIS PASTORAL., Jakarta: Kanisiu, 1992.
[1] Semua tulisan
dalam bagian ini disadur dari tulisan Prof. Tj. G. Hommes Th.D. Antologi
Teologi Pastoral; TEOLOGI DAN PRAKSIS PASTORAL, yang diterbitkan oleh kerjasama
antara Kanisius dan BPK Gunung Mulia, Jakarta 1992.
Bisa kah berikan penjelasan mengenai teologi sebagai ilmu
BalasHapus