SEJARAH
ILMU
I.
Ilmu
dalam Peradaban zaman Kuno dan Abad Tengah
Kemunculan
science Eropa dianggap bermula dari para filsuf negara-negara kota Yunani yang
mendiami pantai dan pulau-pulau Mediterranian Timur, diakhir abad ke 6 dan ke 5
SM. Sebagai contohnya adalah ucapan Thales
yang dikenal sebagai filsuf tertua. Thales berpendapat bahwa “Semuanya Adalah
Air”. Dari pandangan tersebut menjelaskan bahwa filsafat Yunani Kuno lebih
berminat pada penjelasan tentang fenomena dunia pencerapan inderawi (perceptual
world) dari pada mengajukan pemikiran/pandangan praktis, mereka melakukannya
dengan mengutamakan sebab-sebab dari pada pelaku-pelaku pribadi, meskipun
sebab-sebab tersebut berasal dari analogi yang terdapat dalam pengalaman
berkarya dan perilaku manusia (seperti prinsip-prinsip kosmisnya Empedokles
tentang “cinta dan pertentangan”). Dalam perkembangannya ada suatu tradisi yang
terjadi, yakni; aliran Phytagorean
yang secara eksplisit menjadi sifat relegius. Aliran ini berusaha menemukan
kunci bagi harmoni universal, baik yang bersifat alamiah maupun sosial, dan
personalitas bilangan, yang dilihat sebagai susunan titik-titik terbentuk
adalah bukti yang sangat penting. Zeno
dan Parmenides adalah filsuf Eleatis,
menggunakan suatu analisis konseptual yang canghih untuk mendukung filosofis
yang menyatakan kesatuan eksistensi yang tak berubah. Plato yang hidup di awal abad ke 4 SM, adalah seorang filsuf
earliest (paling awal/paling tua). Ia merupakan seorang propagandis matematika yang sangat
berpengaruh. Dalam republik ia beragumen bahwa geometri mempersiapkan pikiran
untuk perbincangan dealektis tentang ide-ide yang nyata (the real ideas),
dimana benda-benda inderawi tak lain dari pada bayang-bayangnya, dan dari sana
menuju kebijaksanaan dan penerangan (illumination). Aristoteles (sekitar abad ke 4), adalah serang filsuf yang minatnya
pada bidang alamiah dan manusia, termasuk etika dan metafisika. Melalui
pengamatan yang akurat dan teorisasi yang disiplin, ia menciptakan sebuah ilmu
biologis dan sebuah taksonomi yang banyak mirip dengan ilmu yang kita gunakan
sekarang.
Dalam
peradaban Romawi, masalah-maslah ilmiah didiskusikan dengan serius dikalangan
orang Romawi hanya dalam hubungannya dengan filsafat-filsafat yang berbasis
etis. Dua aliran yang terkenal pada zaman ini adalah Stisme dan Epikureanisme,
yang pandangannya bahwa manusia harus bijaksana dan mengajarkan kebahagiaan.
Ilmu dalam abad pertengahan,
peradaban Yunani-Romawi mencapai penggenapan siklusnya (± thn 1000). Pada
setengah perjalanan abad ini, khususnya di Eropa sering juga disebut Abad
Gelap. Di awal abad ke 11, sebagian besar orang terpelajar memahami ilmun kuno
dalam cuplikan-cuplikan yang segelintir dan tercabik-cabik. Namun setelah abad
ke 12, mengalami renaissance yang sebagian disebabkan oleh pergaulan dan
beradaban Islam yang terdapat di Spanyol dan Palestina.
II.
Ilmu
Dalam Peradaban-Peradaban Lain
Kebudayaan
Islam dianggap paling relevan bagi ilmu Eropa. Hal ini dikarenakan adanya kontak kultural yang aktif antara
negeri-negeri berbahasa Arab dengan Eropa Latin pada masa-masa menentukan. Hal
ini dikarenakan para penakluk Arab pada umumnya membawa kedamaian dan
kemakmuran bagi negeri-negeri yang didudukinya. Bangsa muslim juga toleran
terhadap keyakinan-keyakinan monoteis lainya, sehingga orang-orang Yahudi mendapatkan
posisi yang tinggi di negeri-negeri Islam pada saat mereka hampir tidak
diizinkan hidup di Eropa.
Peradaban
India adalah peradaban yang tertua sampai sekarang. ciri khas dari peradaban
ini adalah kesadaran yang lebih tinggi (higher consciousness). Matematika India
dengan sistim bilangan dan perhitungannya yang telah berkembang cukup tinggi,
mempengaruhi aljabar Arab, juga melengkapi angka-angka utama Arab (yakni,
sembilan digit dan satu angka nol dlam suatu sistim nilai-tempat).
Cina
memunculkan tantangan yang lebih besar kepada sejarawan ilmu Eropa. Basis
pengetahuan umumnya ialah keduniaan ini, meskipun didasarkan pada harmoni
antara pribadi ketimbang keteraturan-keteraturan yang abstrak. Namun dibalik
tantangan yang muncul tersebut, mempunyai sesuatu nilai yang patut dipelajari
dari cara Cina Kuno yaitu perlunya pelaksanaan harmoni yang lembut antara diri
individu dengan alam. Sedangkan Jepang yang selama beberapa abad merupakan
jajahan kultural Cina, juga cukup mengambil andil dalam peradaban ilmu. Jepang
mengalami penyingkapan singkat dalam
ilmu dan agama Barat sebelum para penguasanya di penghujung abad ke 17
memutuskan untuk menutup pintu pada pengaruh-pengaruh yang dianggap
membahayakan.
III.
Pencipta
Ilmu Eropa
Ilmu
adalah ciptaan bangsa Eropa, meskipun peradaban-peradaban lain memberikan
berbagai kontribusi yang penting kepadanya. Ilmu berakardalam pemikiran
masyarakat – ilmu adalah bagian penting dari proses pencapaian dominasi atas
bangsa yang lemah dan hingga kini masih merupakan ujung kebiadaban dunia.
Penciptaan ilmu Eropa mempunyai dua fase; perkembangan
teknis di abad ke 16 & revolusi
filosofis di abad ke 17.
Kelahiran
kembali ilmu di zaman Renesans adalah dengan penemuan manusia dan alam (produk
renesance yang artistik pada abad ke 15 di Italia) termasuk didalamnya ilmu
seni dan teknologi. Pada abad ke 16 dan 17 para filsuf menggabungkan
unsur-unsur keahlian metalurgi, ilmu kedkteran, alkimia, agama, mistik, dan
perbaikan sosial, dan pada hakekatnya mereka benar-benar berhasil sebagai ahli
kimia.
Pada
abad ke 17 terjadi revolusi dalam Filsafat Alam – terjadi perumusan kembali
yang radikal terhadap objek-objek, metode-metode dan fungsi-fungsi pengetahuanh
alamiah. Objek barunya ialah fenomena yang teratur di dunia tanpa sifat-sifat
manusiawi dan spiritual, metode-metode barunya merupakan penelitian yang
berdisiplin dan kooperatif, dan fungsi-fungsi barunya berupa gabungan dari
pengetahuan ilmiah dan kekuasaan industrial.
Yang
menjadi target utama serangan para revolusioner ialah pendidikan tradisional
yang lebih tinggi yaitu yang dikenal dengan Skolastik. Tokoh revolusioner abad ke 17 adalah sebagai
berikut;
-
Francis Bacon di Inggris yang lahir pada
thun 1567; dan
-
Galileo Galilei di Italia, yang lahir
pada tahunn 1564. Keberhasilan filsafat ini, terjadi/terlihat pada akhir abad
ke 17.
IV. Ilmu di Zaman Revolusi Modern
Revolusi
ini dimulai pada abad ke 18, yang dimulai dengan ilmu selama refolusi industri.
Kebanyakan kemajuan dalam refolusi industri berasal dari ilmu yang
rasionalisasi teknik-teknik kerajinan dan penemuan-penemuan mesin sederhana
untuk menggantikan penggarapan-penggarapan manual. Penemuan yang pertama kali
dalam revolusi ini adalah ditemukannya mesin uapvakum di Inggris (1711) yang
berasal dari Pneumatika abad ke 17 dan dipengaruhi oleh seorang Insinyur
Inggris, James Watt sejak tahun 1763. Hasil penemuan tersebut erat sekali
kaitannya dengan perkembangan dari teori panas (theory of heat).
Gerakan
refolusi modern ini juga disebut Pencerahan. Pencerahan dimulai pada tahun 1730-an oleh Viltaire; dia memakai citra
newton untukn menantang/melawan ortodoksi kosmologi dan fisika Descrates yang
berlaku resmi pada saat itu. Ilmu di zaman revolusi modern ini, merembet samapi
ke Perancis. Refolusi ilmu di perancis menekankan pada suatu sistem pendidikan.
Pusat sistem itu ialah Ecole Polytechinique di Paris, sebagian besar ditujukan
untuk melakukan pelatihan pada insinyur angkatan bersenjata. Gaya dominan ilmu
di zaman refolusi ialah matematis. Hasil dari ilmu tersebut yang masih ada
sampai sekarang adalah sistem pengukuran yang didasarkan pada satuan-satuan
alamiah dan rasional. Pada zaman ini pula ditemukan elektromagnetisme (1820)
oleh fisikawan Belanda yaitu Hans Christian Qrsted, yang sekarang dikenal
sebagai hasil akhir penelitian penelitian.
V.
Zaman
Matangnya Ilmu-Ilmu
Pada
zaman ini (selama abad 18) semua jenis bidang ilmu mengalami perkembangan yang
sangat pesat. Satu demi satu disiplin ilmiah mengalami kemajuan ilmiah serupa
dalam pencapaian sistem-sistem yang runtut dan dalam penciptaan lembaga-lembaga
aktivitas ilmiah. Pada zaman ini ilmu mengalami perluasan yang meliputi
penggabungan matematika dengan eksperimen dalam fisika, penerapan teori kepada
eksperimen dalam kimia, dan eksperimen yang terkendali dalam biologi. Kalau kita lihat dalam ilmu geologi, maka
pada zaman ini geologi memiliki sisi filosofis dalam spekulasi-spekulasinya
mengenai sejarah bumi dan memiliki sisi praktis dalam pemanfatan sumber daya
alam. Thedormodinamika menyatukan ilmu-ilmu tentang panas dan kerja serta
memungkinkan sebuah teori untuk mengembangkan perubuhan kimia. Akar
perkembangan tersebut dimulai dari fisikawan di bidang kekuatan rekayasa (power
engineering) yang dipelopori leh Sadi Carnot dari Perancis dan James Joule dari
Inggris.
Sedangkan
pada awal masa abad 20, ilmu bersifat profesional dalam organisasi sosialnya,
reduksionis dalam gayanya, dan positif dalam jiwanya, serta ilmu sudah
dipandang sebagai hasil karya penelkiyian murni. Hampir semua penelitiajn
dilakukan oleh para ahli yang dilatih dengan sangat ketat, bekerja secara total
atau seperlunya untuk pekerjaan ini dalam lembaga-lembaga khusus. Gaya
pekerjaan pada periode ini sebagian besar bersifat reduksionis, penyelidikan dipusatkan
pada proses-proses murni, stabil, dan dapat di kontrol secara buatan yang dapat
terlaksana di laboratorium. Jiwa positif ilmu ini terlihat dengan meningkatnya
pemisahannnya dari refleksi filosofis.
FILSAFAT ILMU
I.
Pendekatan
Umum Pada Filsafat Ilmu
Pada
hakikatnya filsafat ilmu pertama-tama berusaha menjelaskan unsur-unsur yang
telibat dalam proses penelitian ilmiah yaitu; prosedur-prosedur pengaatan,
pola-pola argumen, metode penyajian dan perhitungan, peraandaian-peraandaian
metafisik, dan sebagainya. Dari situ meka di emvaluasi dasar-dasar validitasnya
berdasarkan sudut pandang logika formal, metodologi praktis metafisika. Dalam
perkembangan filsafat , ada dua topik yang sering disukai oleh para
ilmuan; ontologis atau ontal dan
epistemologis. Pada tingkat yang lebih umum dan abstarak, filsafat ilmu tak
ernah dapat dipisahkan sama sekali dari metafisika dan epistemologis. Oleh
karena itu, pada penyelidikan pada masa kini pada filsafat ilmu memeuat upaya
prasangka terhadap persoalan utama yakni apakah metode-metode analisis logis
saja yang sah ataukah pada titik-titik tertentu topiknya bertumpang tindih
secara sah dengan topik-topik yang berdekatan dengannya, seperti psikologi
kognitif, sejarah lmu, dan epistemologi.
II.
Konseptualisasi
dan Metodologi Ilmu
Pada
bagian ini menjelaskan para filsuf diharuskan untuk mempertimbangkan bukan Cuma
alam semesta yang terisolasi – sekedar tumpukan fakta-fakta empiris, yang
menunggu dengan bisu ditemukan manusia – tetapi juga cara manusia mencerap dan
menafsirkan sendiri fakta-fakta itu ketika memasukkannya kedlam genggaman
suatuteori yang dapat dipahami yang didalmnya kesahihan ide-ide teoritis yang
dihasilkan (atau konsep-konsep)
dipengaruhi leh pemrosesan data empiris. Klarifikasi metodologis dalam filsafat
ilmu telah membawa kemajuan kreatif pada ilmu itu sendiri sehingga, pada
gilirannya , memunculkan pengalaman baru yang dapat dimanfaatkan para filsuf
untuk memajukan analisis metodologisnya.
Konseptualisasi
untuk mendapatkan suatu hasil yang pasti maka dibutuhkan metodologi ilmu.
Metodologi sendiri berfungsi sebagai sistem yang teratur yang didalamnya
mencakup data empiris dan penafsiran teoritis. Prosedur empiris ilmu meliputi
prosedur pengukuan yang membawa ilmuwan tiba pada pemikiran-pemikiran kuatitatifv
terhadap variabel-variabel dan besaran-besaran yang dipertimbangkan didalam
teori-teori mereka. Kemudian yang berikutnya adalah terdapat prosedur-prosedur
analitis statistik untuk rancangan ekperimen-ekperimen ilmiah. Yang ada
akhirnya penggunaan awal data empiris sang ilmuawan menharuskannya menggunakan
prosedur-prosedur klarifikasi sistematik.
Bagi
empiris, peraandaian fundamental ialah bahwa fakta-fakta yang membenarkan
perubahan-perubahan dalam ide-ide ilmiah secara intelektual mendahului
teori-teori, jika waktu mengisinkan, yang dikembangkan untuk menjelaskannya,
dan juga dapat dikenali secara terpisah dan mendahului semua konstruksi teori.
Dalam proses pengesahan dan pembenaran lmu yang telah diteliti maka diperlukan
dua langkah; langkah formal yang menyimpulkan prediksi-prediksi baru dari teori
tersebut dan langkah empiris yang menbandingkan prediksi-prediksi tersebut
dengan fakta-fakta sehingga memperlihatkan kebenaran teori tersebut atau
membuktikan kekeliruannya. Pada intinya penyatuan konseptual dan metodologis menyajikan
suatu gerakan yang sejati dalam perkembangan pemikiran ilmiah; namun bentuk
logis ilmu terpadu yang dituju para filsuf bukanlah sesuatu yang dapat
diletakkannya secara definitif sebelum zamannya tiba.
III.
Isu-Isu
Yang Lebih Dalam Dan Luas Yang Melibatkan Ilmu
Penulis
dalam tulisannnya pada bagian ini membagikan dua bagian, yaitu; pertama status filosofis dan teori
ilmiah; kedua hubungan antara ilmu
dan budaya. Hal ini mau menjelaskan, bagaimana ilmu yang telah memlalui
pembenaran dan dapat dibenarkan secara metodologis (penelitian ilmiah) harus
dapat berkorelasi dengan budaya. Hal ini merupakan bentuk pendekatan yang
mungkin tidak mejadikan masalah substantif – yang membatasi tapal batas ilmu
secara eksakpada semua titik – jauh lebih mudah dibanding sebelumnya, namun ia
mempunyai suatu keunggulan yang asli; ia menhargai fakta yang asli; ia
menghargai fakta yang sangat penting, yang menarik perhatian khusus pada konteks pembacaan ini ialah bahwa ciri
khas ilmu terletak bukan pada tipe-tipe objek dan peristiwa yang dapat diakses
ilmuwan melainkan dalam prosedur-prosedur intelektual yang dipakai dalam
penyelidikan-penyelidikannya dan juga dalam jenis-jenis masalah yang
membantunya mencapai solusi ilmiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar